Penulis: Dewi Kharisma Michellia
ISBN13: 9789792296402
Paperback, 240 halaman
Sinopsis:
Ada surat panjang yang terlambat sampai.
Tanpa nama pengirim, dan hampir basah oleh tempias hujan.
*
Sejak kecil kita berdua merasa diri kita adalah alien-alien yang tersesat ke Bumi.
Pria itu sudah melupakan seorang teman masa kecilnya saat sebundel amplop itu sampai di beranda rumah.
Kalau kau perlu tahu, aku hanya punya satu macam mimpi. Aku ingin tinggal di rumah sederhana dengan satu orang yang benar-benar tepat. Bila memang aku harus mencurahkan seluruh perhatianku, kepada satu orang itulah hal itu akan kulakukan.
Ia bahkan sudah melupakan mimpi-mimpi masa kecil mereka.
Berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan sejak kali pertama bertemu, aku telah memilihmu dalam setiap doaku. Sesuatu yang tak pernah kauketahui bahkan hingga hari ini. Dan bila kau suruh aku pergi begitu saja, di usiaku yang lebih dari empat puluh ini, aku mungkin telah terlambat untuk mencari penggantimu.
Dan ia tak tahu teman masa kecilnya itu masih mencintainya.
*
Surat-surat itu menarik pria itu ke masa lalu.
Hingga ia tahu, semuanya sudah terlambat.
Review:
Saya membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan novel yang berwujud
kumpulan surat ini karena saya mengambil jeda yang cukup lama antara
surat satu ke surat berikutnya. Bukan lantaran novel ini membosankan,
melainkan lebih karena setiap suratnya membuat saya berpikir. Dan itu
poin plus buat saya yang memang menyukai tipe-tipe novel seperti itu.
Sejak saya membaca sinopsis back cover, impresi yang saya dapatkan adalah ini novel tentang seorang wanita lajang dengan usia terlalu matang yang masih belum bisa move on setelah di-friendzone oleh teman masa kecil yang dicintainya. Saya mulai berpikir ini akan jadi novel full romance yang tragis dan dramatis. Namun, semakin saya memasuki lembar demi lembar, saya sadar saya sudah tertipu.
Daripada disebut surat kepada seseorang, ini lebih pantas dikategorikan sebagai memoar. Karena si tokoh utama lebih banyak menceritakan dirinya sendiri dengan detil yang keterlaluan untuk bisa disebut surat. Belum lagi interaksi dengan tokoh yang dikiriminya surat sangat minim. Bahkan unsur romance antara mereka yang saya pikir akan menguasai novel ini ternyata juga sama minimnya.
Ya, saya memiliki kesukaan dan ketidaksukaan yang sama besar pada novel ini.
Sebagai seorang maniak plot cerita, sudah tentu saya kecewa mendapati
novel ini tidak memiliki plot yang benar-benar utuh. Cerita tidak
terfokus dan sering melantur ke mana-mana. Romance yang
seharusnya jadi landasan plot seolah timbul-tenggelam di dalam cerita
dan hampir hanya menjadi tempelan. Seharusnya, ketidakjelasan plot dalam
novel ini sudah sanggup membuat saya membanting buku ini, menaruhnya di
pojok rak buku, dan tidak membukanya lagi meski belum selesai dibaca.
Namun tidak. Saya membacanya sampai tuntas. Dan itu bukan lantaran sang
penulis adalah teman saya.
Lalu kenapa?
Itu karena saya jatuh cinta pada narasinya. Cara berceritanya memukau
saya. Gaya bahasa dengan diksi yang dipilih secara hati-hati, lugas,
dan tidak menye-menye membuat saya tak bisa tidak lanjut membaca sampai
akhir. Dan semua itu dengan sukses menutupi semua kekurangan yang sudah
saya sebutkan.
Jujur saja, saya selalu membiasakan diri membaca novel bukan untuk
dinikmati, melainkan untuk dipelajari. Saya tidak berharap bisa belajar
tentang plotting dari novel ini. Namun saya bisa belajar gaya bahasa yang cerdas dan tidak membosankan dari novel ini. Dan itu membuat novel ini worth it untuk dimiliki.
Saya kasih nilai 3,5/5 untuk novel ini.
Waduh, udah lama enggak ketemu, dan kamu nulis ulasan untuk novel ini. :) Makasih, jeng. Salam rindu dan peluk jauh.
BalasHapusPeluk jauh juga, Mimi~ <3
HapusSebenarnya ini nggak bisa dibilang ulasan sih, anggap saja random rant hahaha. Sudah lama ada di goodreads, jadi saya pikir nggak ada salahnya saya back-up ke blog~