Let Go
karya Windhy Puspitadewi
Sinopsis back cover:
Kau tahu apa artinya kehilangan? Yakinlah, kau tak akan pernah benar-benar tahu sampai kau sendiri mengalaminya.
Raka tidak pernah peduli pendapat orang lain. Selama ia merasa benar,
dia akan melakukannya. Hingga, suatu hari, mau tidak mau, ia harus
berteman dengan Nathan, Nadya, dan Sarah. Tiga orang dengan sifat yang
berbeda, yang terpaksa bersama untuk mengurus mading sekolah.
Nathan, si pintar yang selalu bersikap sinis. Nadya, ketua kelas yang
tak pernah meminta bantuan orang lain. Dan Sarah, cewek pemalu yang
membuat Raka selalu ingin membantunya.
Lagi-lagi, Raka terjebak dalam urusan orang lain, yang membuatnya
belajar banyak tentang sesuatu yang selama ini ia takuti, kehilangan.
Review:
Let Go termasuk buku yang bisa saya
rampungkan dalam dua kali duduk (tersela sholat Ashar dulu soalnya,
kalau nggak pasti dalam sekali duduk udah rampung tuh). Dan satu reaksi
yang langsung keluar di otak saya setelah menyelesaikannya: ini
manga banget!
Saya bahkan bisa membayangkan setiap adegannya tanpa
terkecuali dalam panel-panel manga. Saya bilang begitu, bukan
berarti nggak suka. I loves manga, anyway. So, it’s okay. Dan kalau boleh bilang, style menulis saya juga termasuk dalam aliran mangaish, jadi seneng aja nemu novel dengan style sama. Eksekusinya juga mantap, pula. Sederhana, tapi mengena. Favorit saya.
Oke, pertama, kenapa saya bisa jatuh
cinta sama Let Go? Padahal, biasanya saya kalau ke
toko buku selalu memilih novel bertema agak berat kayak fiksi fantasi.
Tapi, sampul buku itu bener-bener menarik. Sederhana, tapi keren.
Salut deh sama Gagas Media yang selalu berhasil bikin ilustrasi sampul
yang keren-keren. Warnanya biru pastel, pula. Ditambah burung-burung
yang kelihatan banget sketsa pensil (atau hasil potret, tapi diedit
selayaknya sketsa pensil?), hasilnya jadi lembut banget. Selembut cerita
dalam novel ini. Yeah, don’t judge a book only by its cover. That’s right. Tapi tetep aja cover berpengaruh.
Hmmm, novel ini bercerita tentanga 4
orang: cowok badung tapi kelewat baik ke semua orang; cowok cakep,
tajir, jenius, tapi tingkat kesadisannya gak usah ditanyain lagi; cewek
sempurna tapi kesibukannya nggak manusiawi sampai kewalahan sendiri; cewek
pemalu, baik, pintar, tapi kena inferior complex dan gak bisa
bilang “tidak” ke orang lain. Dan keempatnya digabungkan oleh wali kelas
mereka ke dalam tim mading sekolah bernama Veritas.
Dilihat dari 4 karakter itu, ini khas
stereotip manga-manga Jepang. Untungnya eksekusinya mendukung. Yah,
persahabatannya kental banget, tentunya ada selipan cecintaan di
dalamnya. Yang bikin saya salut dan seneng banget sama buku ini,
cecintaan gak mendominasi. Cecintaan seperti tambahan di sini, tapi gak
cuma tempelan. Lebih ke persahabatan sih sebenarnya, terutama antara
Caraka dan Nathan. Sejak awal sudah mengindikasikan bahwa mereka bakal
deket. Saya aja langsung tereak: BROMANCE DETECTED! XD
Tapi, saya suka. Mengingatkan saya akan bromance antara Niwa Daisuke dan Hiwatari Satoshi dalam
animanga D.N.Angel. Dan lagi, kondisi mereka mirip pula. Yang satu
baiknya gak tanggung-tanggung. Yang satu sakit-sakitan. Yang satu
berusaha keras pengin menjalin persahabatan. Yang satu menghindar
mati-matian, meskipun alasannya agak beda.
Dan waktu Sarah mengungkapkan rasa
sukanya ke Caraka, saya langsung ingat animanga Honey and Clover.
Beneran, caranya Sarah itu “mirip” sama caranya Ayumi pas mengungkapkan
rasa suka ke Mayama (biarpun Ayumi lagi mabuk dan ngungkapinnya pas
Mayama menggendong Ayumi pulang). Mana reaksi penolakan si Caraka sama
persis kayak reaksinya Mayama, pula. Yah, saya selalu memaki dalam
hati: kesamaan ide memang mengerikan!
Waktu perasaan Caraka akhirnya diterima
Nadya pun, saya langsung ingat Kimi ni Todoke. Saking leganya
setelah tahu Kuronuma gak benci sama dia, Kazehaya langsung lemes dan
jatuh terduduk (atau terjongkok ya? saya agak lupa), lega bukan
main. Dan Kuronuma ikut-ikutan jongkok dan senyum manis banget ke
Kazehaya. Aiyah, mirip kan sama kelegaannya Caraka dan reaksinya Nadya? Well, stereotip manga shoujo sih. Tapi, eksekusinya bagus. Itu yang saya suka.
Twistnya juga bagus. Penerapan planting-harvest-nya
lumayan kena-lah. Ya soal bapaknya Caraka, ya soal Nathan (sial, saya sebel banget sama Mbak Windhy gara-gara gak tanggung-tanggung
nyiksa karakter favorit saya ini). Yah, walaupun sudah bisa
agak-agak ketebak sama saya, soalnya stereotip animanga sih
plotnya.
Soal karakter, saya harus bilang bahwa karakterisasinya kuat. Terutama Caraka dan Nathan. Interaksi mereka berdua keren, anyway. Saya paling suka kalau sudah masuk scene di mana mereka berdua adu mulut. Percakapan mereka agak ‘bodoh’, childish,
tapi mengena. Yah, bisalah membayangkan orang yang bisanya main otot
tapi kalau sudah ngomong ngototnya nggak ada yang bisa ngalahin perang
mulut sama orang bermulut sadis yang bahkan sanggup secara cerdas
mementahkan kata-kata gurunya hingga bikin speechless … beneran, terkadang percakapan mereka bikin saya ngakak guling-guling XD
Dialognya juga cerdas, dan kespontanannya gak maksa. Well,
tapi bener deh. Kaku banget. Seolah tokoh-tokoh di novel itu—termasuk
ABG-nya—berusaha keras menerapkan berbahasa Indonesia yang baik dan
benar, tapi gagal. Soalnya, perpaduannya dengan bahasa slang sehari-hari
nggak nyatu dan nggak mulus.
Banyak juga kalimat-kalimat keren dalam novel
ini. Eh, ralat: BANYAK. BANGET. Sampai-sampai rasa-rasanya tiap satu
atau dua lembar sekali ada aja yang isi omongannya keren banget. Tapi,
sayangnya, cara pesan-pesan itu masuk ke dialog setengah maksa. Nggak
luwes dan nggak natural. Untuk sekilas saya mikir: kayaknya Mbak
Windhy ngebet banget pengen masukin semua quote keren yang
pernah terlintas di benaknya dalam satu buku. Alhasil, bejubel. Kayak
lagi masukin banyak banget barang ke dalam tas ransel, tapi saking
banyaknya jadi harus menjejalkannya (jadi inget pas nyiapin
barang-barang buat kemah).
Yang bejubel nggak cuma kalimat kerennya,
tapi juga informasinya. Gila, ada yang menghabiskan dua atau tiga
halaman sendiri cuma untuk menjelaskan isi kitab Negarakertagama. Dan
itu gak ngaruh ke cerita biarpun dihilangkan, paling juga cuma buat
menegaskan kalau si Caraka jenius Sejarah. Tapi, cuma itu. Dan yang
lebih parah, nggak ada follow-up-nya sama sekali. Habis jelasin isi kitab
itu panjang lebar, ya udah selesai. Nggak disinggung-singgung lagi. Ya mau
gimana lagi? Hubungannya ke cerita aja nggak ada sama sekali.
Dan nggak cuma itu, informasi tentang lagu-lagu klasik, film-film, pengarang novel dan buku-bukunya … well,
bener-bener bejubel. Dan yang lebih parah, seringkali dijejalkan di
satu tempat, nggak disebar. Jadi bikin saya agak mengernyit dan
setelah selesai membaca, ya otomatis langsung terlupakan semua. Saya nggak bilang buruk. Bagus kok. Jarang-jarang ada penulis bisa
memberikan informasi aktual dalam novelnya. Tapi, ini banyak banget.
Terlalu banyak.
Ada juga dialog yang naudzubillah
panjangnya…. Terutama pas bapaknya Nathan curhat ke temen-temen
anaknya, itu semuanya meluncur gitu aja tanpa proses yang cukup. Nggak
cuma itu sih, tapi … ah, coba baca sendiri saja.
Kalau boleh saya bilang, novel ini
istimewa. Jarang-jarang lho teenlit menawarkan tema yang agak berat
begini. Dan saya suka. Apalagi ternyata dieksekusi secara apik.
Tapi, sayang, deskripsinya kurang, Mbak Windhy. Saya tahu ini POV
3, tapi ini kan POV 3 limited, sudut pandangnya terbatas dari pihak si
Caraka. Selain deskripsi tempat dan suasana yang perlu ditonjolin lagi,
deskripsi perasaannya si Caraka boleh kok dieksplor lebih dalam.
Walaupun nggak sedalam POV 1. Tapi, jujur deh. Ini kelewat sedikit. Lebih
banyak telling lewat dialog, kayaknya yah?
Oke, akhir kata, saya suka tema yang
diambil Mbak Windhy. Dan saya juga suka cara eksekusinya. Seperti
yang saya bilang, karena gaya kita sama-sama mangaish,
Mbak. Sayang, novel ini sudah nggak ada lagi di rak buku saya gegara sudah dijarah sama keponakan saya. Dia bilangnya suka banget sama novel ini, terus mintain itu novel dengan cara "kitten-eyes-attack". Dipelototin dengan cara itu, ya terpaksa saya serahin :v
Hmm, saya menanti karya Mbak Windhy
selanjutnya. Ngomong-ngomong, saya jadi pengen baca Touché. Itu
fantasi kan yah? XD
Wah, reviewnya menarik sekali! :D
BalasHapus